salju

Kamis, 15 Desember 2016

TAUHID " Aliran Mu'tazilah"




ALIRAN MU’TAZILAH

MAKALAH

Disususn Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Logo_uin_walisongo.pngDosen Pengampu : Drs. H. M. Mudhofi,M. Ag










Disusun Oleh :
A.Ali As’adi               (1501046003)
Dwi Aprillia Hapsari (1501046011)
 Ainurrika Nadhifa      (1501046033)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016




 
                                                                           BAB I


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam permasalahan teologi dalam Islam, banyak bermunculan kelompok-kelompok yang memperkuat argumentasi dalam baragama dengan menggunakan rasio, walaupun mereka tetap menggunakan nash yaitu Al Qur’an dan Hadist. Akan tetapi, dengan menggunakan rasio yang mereka agungkan ini, maka muncul pemikir-pemikir Islam yang memperkuat sebuah alasan dalam mempertahankan keyakinannya.
Mu’tazilah adalah salah satu kelompok yang membawa persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah. Walaupun pada mulanya kelompok ini hanya sebatas gerakan beberapa orang sahabat saja yang tidak puas dengan sikap pemerintahan sayidina Ali bin Abi Thalib.
Penyebutan kelompok ini dengan sebutan kelompok Mu’tazilah terjadi setelah adanya perbedaan pendapat antara Wasil ibn ‘Atha dengan gurunya Hasan al Basri tentang penilaian orang yang berbuat dosa. Dengan munculnya pemikiran seperti inilah maka Mu’tazilah lahir sebagaimana kelompok baru dalam dunia pemikiran Islam.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah lahir dan perkembangan aliran Mu’tazilah ?
2.      Siapakah tokoh-tokoh pemikiran aliran Mu’tazilah ?
3.      Bagaimana pemikiran theologis aliran Mu’tazilah?
4.      Bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran di dunia islam ?

BAB II
PEMBAHASAN

1.                  Sejarah Lahir dan Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
            Disebut Mu’tazilah karena Wasil bin ‘Atha dan ‘Amr in ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan al Basri di masjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar tidak mu’min lengkap, juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena penjauhan ini, maka disebut “orang Mu’tazilah” (orang yang menjauhkan diri – memisahkan diri).
Menurut riwayat lain, disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan Murjiah mengatakan bahwa pembuat dosa besar masih termasuk orang mu’min. Menurut Khawarij Azariqah, ia menjadi kafir. Sedang menurut Hasan Basri ia menjadi orang munafik. Datanglah Wasil bin ‘Atha untuk mengatakan bahwa pembuat dosa besar bukan mu’min, bukan pula menjadi kafir, melainkan menjadi fisik. Menurut riwayat ini, sebab penyebutan adalah ma’nawiah, yaitu menyalahi pendapat orang lain, sedang menurut riwayat pertama, sebab penyebutan adalah lahiriah, yaitu pemisahan phisik (menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain).
Disebut Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan pembuat dosa besar berarti menjauhkan diri dari golongan orang-orang mu’min dan juga golongan orang-orang kafir. Perbedaan riwayat ini dengan riwayat sebelumnya (kedua) ialah kalau menurut riwayat kedua ke-Mu’tazilahan menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri karena mereka menyetuskan pendapat baru yang menyalahi orang-orang sebelumnya, sedang menurut riwayat yang ketiga, ke-Mu’tazilahan mula-mula menjadi sifat si pembuat dosa itu sendiri, kemudian menjadi nama (sifat) golongan yang berpendapat demikian (yaitu pembuat dosa besar menyendiri dari orang-orang mu’min dan orang-orang kafir).
Dari ketiga riwayat tersebut dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
a.       Peristiwa timbulnya aliran Mu’tazilah ialah sekitar Hasan al Basri dan kedua muridnya, yaitu Wasil bin ‘Atha dan Amr bin Ubaid (Hasan Basri hidup 642-728 M).
b.         Aliran Mu’tazilah timbul karena persoalan agama semata-mata.
Mu’tazilah muncul di kota Basrah pada abad 2 Hijriyah, yaitu antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah penduduk Basrah mantan murid Hasan al Basri yang bernama Wasil bin ‘Atha , kemunculan ini adalah karena Wasil bin’Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mu’min dan bukan kafir melainkan fasik. Imam Hasan al Basri berpendapat mu’min berdosa besar masih berstatus mu’min. Inilah awal kemunculan paham dikarenakan perselisihan tersebut antara murid dan guru, dan akhirnya golongan Mu’tazilah dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.[2]
Golongan pertama (Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Tholib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah,  dan Abdullah bin Zubair.
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.[3]
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atha serta temannya ‘Amr bin Ubaid dan Hasan al Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan Hasan al Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang bertanya mengenai pendapat Hasan al Basri tentang orang yang berbuat dosa besar. Ketika Hasan al Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan : “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mu’min dan tidak kafir.”
Menurut al Baghdadi, Wasil dan temannya ‘Amr bin Ubaid diusir oleh Hasan al Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan persoalan orang yang berbuat dosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka orang serupa ini tidak mu’min dan tidak pula kafir.
Versi lain dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut menyebut bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan menuju ke majlis ‘Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan al Basri. Setelah mengetahui itu bukan majlis Hasan al Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata : “Ini kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Al Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut pautkan dengan peristiwa Wasil dan Hasan al Basri. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara kafir dan mu’min (al manzilah bain al manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mu’min dan kafir.
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan al Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan mengikuti pertikaian itu dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya kepada khalifah, Qais menamai mereka “mu’tazilin”. Kalau al Tabari menyebut nama ”mu’tazilin”, Abu al Fida, memakai kata “al Mu’tazilah” sendiri.

2.                  Tokoh-tokoh Pemikiran Aliran Mu’tazilah
a)      Wasil bin ‘Atha (80-131 H/ 699-748)
Lengkapnya Wasil bin ‘Atha al Ghazzal. Ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip ajaran Mu’tazilah.[4]
a.       Al-‘Allaf (135-226 H/752-840)
Namanya Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al ‘Allaf. Ia berguru pada Usman at Tawil, murid Wasil. Puncak kebesarannya dicapai pada masa al Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh dengan perdebatan dengan orang zindiq (orang yang pura-pura Islam), skeptiq, majusi, zoroaster dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk islam di tangannya. Ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof dan buku-buku filsafat. Boleh jadi pertaliannya dengan filsafat itulah yang menyebabkan dia sanggup mengatur dan menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membuka pembahasan baru yang belum pernah dimasuki orang sebelumnya.[5]
b.      An-Nazzham (wafat 231 H/845 M)
Namanya Ibrahim bin Sayyar bin Hani an-Nazzham, tokoh Mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami filsafat dan banyak pula karyanya. Ketika kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang bukan Islam, dan sesudah dewasa ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof yang hidup pada masanya, serta banyak mengambil pendapat-pendapat mereka.
Ia mula-mula berguru pada Abul Huzail al-‘Allaf, kemudian mengadakan aliran sendiri, terkenal dengan namanya, dan pada usia 36 tahun ia meninggal dunia. Banyak pendapatnya yang berbeda dengan orang-orang Mu’tazilah lainnya, dimana sebagiannya akan disebutkan pada waktu membicarakan filsafat aliran Mu’tazilah.[6]
c.       Al-Jubbai (wafat 303 H/915 M)
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Ali al-Jubbai, tokoh Mu’tazilah Basrah dan murid as-Syahham (wafat 267 H/885 M), tokoh Mu’tazilah juga. Al-Jubbai dan anaknya, yaitu Abu Hasyim al-Jubbai, mencerminkan akhir masa kejayaan aliran Mu’tazilah.
Al-Jubbai adalah guru imam al-Asy’ari, tokoh utama aliran Ahlussunnah. Ia membantah buku karangan Ibnu ar Rawandi, yang menyerang aliran Mu’tazilah dan juga membalas serangan imam al-Asy’ari ketika yang terakhir ini keluar dari barisan Mu’tazilah. Akan tetapi pikiran-pikiran dan tafsiran-tafsirannya terhadap Quran tidak sampai kepada kita. Menurut dugaan, pikiran itu banyak diambil oleh az-Zamakhsyari.
Antara al-Jubbai dan anaknya, Abu Hasyim, sering dikelirukan orang, karena anaknya tersebut juga menjadi tokoh Mu’tazilah, dan alirannya terkenal dengan nama “Bahsyamiah”. Aliran ini banyak tersebardi Rai dan sekitarnya (Iran), karena mendapat dukungan dari Sahib bin’Abad, menteri kerajaan Bani Buwaihi.[7]
d.      Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Bagdad. Pandangan-pandangannya tentang kasusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya al Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama-tama mengadakan ilmu Balaghah.
Beberapa pendapatnya tentang paham ke-Mu’tazilahan hanya sedikit saja yang sampai kepada kita. Ia adalah orang yang pertama mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya.
Di antara murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran paham-paham ke-Mu’tazilahan di Bagdad ialah Abu Musa al Mudar, Tsumamah bin al-Asyras dan Ahmad bin Abi Fu’ad.
e.       Al Chayyat (wafat 300 H/912 M)
Ia adalah Abu al-Husein al Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah Bagdad, dan pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu ar Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah[8]
f.       Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M. Di Ray)
Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al qudhat) oleh Ibnu ‘Abad. Di antara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as Syarif al Murtadha. Nuku tersebut sedang dalam penerbitan di Kairo dengan nama “al-Mughni”.
g.      Az-Zamaihsyari (467-538 H/1075-1144 M)
Namanya Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar kelahiran Zamachsyar. Pada diri az Zamachsyari terkumpul karya aliran Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu dan paramasastera.
Ia dengan terang-terangan menonjolkan paham ke-Mu’tazilahannya dan dituliskan dalam bukunya, serta dikemukakannya dalam pertemuan-pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya “al Kassyaf” ia telah berusaha sekuatnya untuk menafsirkan ayat-ayat Quran berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Begitulah cara az-Zamachsyari, menerapkan Quran dan menundukkan ajaran-ajaran Mu’tazilah kepadanya, bukan menerapkan ajaran-ajaran ini kepada Quran dan menundukkan Quran kepadanya.
Di samping segi ke-Mu’tazilahannya, al Kassyaf menunjukkan kekuatan pengarangnya dalam segi bahasa, balaghah, ilmu stylistika dan kemu’jizatan Quran, sehingga golongan mufassirin banyak menggunakan dan tidak bisa melepaskannya sampai sekarang.
Namun bagaimanapun juga, di kalangan aliran Mu’tazilah, az-Zamachsyari merupakan tokoh yang sukar dicari tandingannya.
3.Pemikiran teologi mu’tazilah
Aliran mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama  yaitu keesaan ( at-tauhid), keadilan(al’adlu), janji dan ancaman ( al-wa’du wal wa’idu), tempat diantara dua tempat (al- munzilatu bainul manzilataini ) dan menyuruh kebaikan dan melarang keburukan ( amar ma’ruf, nahi mungkar)
1)      At- Tauhid ( keesaan)
Tauhid, sebagai aqidah pokok dan yang pertama dalam islam tidak diciptakan oleh aliran Mu’tazilah. Setiap mazhab teologis dalam islam selalu memegang aqidah pokok ini. Akan tetapi, bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan dalam faham mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik,tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu mereka menolak faham anthropomorphisme.Anthropomorphisme sebagai diketahui menggambarkan Tuhan dekat menyerupai mahluk-Nya. Mereka juga menolak beatific vision, yaitu bahwa tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya. Satu-satunya sifat Tuhan yang tidak mungkin ada pada makluk-Nya ialah sifat qodim(tidak mempunyai permulaan) . hanya zat Tuhan yang boleh qodim. Faham ini, sebagai dilihat sebelumnya, mendorong kaum mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiridiluar zat Tuhan. Tuhan bagi mereka tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan dengan zat Tuhan. Sifat-sifat itu merupakan esensi Tuhan. Kaum mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan yaitu sifat zatih( sifat-sifat esensi Tuhan seperti kehendak(al- iradah), sabda( kalam), keadilan( al-adal)) dan sifat fi’liah( sifat- sifat perbuatan tuhan seperti wujud(al-wujud), al-qodim, hidup( al-hayah), kekuasaan( al-qudrah)). Dengan demikian yang dimaksud kaum mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan ,ialah memandang sebagian dari sifat-sifat Tuhan . faham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga kemurnianya ke-Maha Esaan Tuhan[9].
2)      Al- adlu (keadilan)
Al-adlu ada hubunganya dengan al-tauhid, kalau at-tauhid kaum mu’tazilah ingin mensucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk,maka dengan al-adlu mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan kata lain kalau tauhid membahas keunikan diri Tuhan , al-adlu membahas keunikan perbuatan Tuhan.
Tuhan dalam faham kaum Mu’tazilah, tidak berbuat buruk karena perbuatan yang demikian timbul hanya dari orang yang bersifat tidak sempurna. Dan Tuhan bersifat Maha Sempurna. Keadilan Tuhan menimbulkan persoalan tentang perbuatan manusia.
3)      Al-wa’d wa al- wa’id ( janji dan ancaman)
Tuhan tidak akan dapat disebut adil, jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi pahala, seperti bagaimana dijanjikan Tuhan.
4)      (al- munzilatu bainul manzilataini ) 
Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad., tetapi bukanlah mukmin, karena imanya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin ia tidak masuk surga dan karena bukan kafir pula ia sebenarnya tak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan diluar surga dan diluar neraka.inilah sebenarnya keadilan. Penentuan tempat itu banyak hubunganya dengan faham mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka digambarkan bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan ,tetapi juga dengan perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar yang tidak beriman maka tidak dapat masuk surga melainkan masuk neraka. Tetapi tidak adil jika ia dalam neraka mendapat siksaan yang sama berat oleh orang kafir. Pembuat dosa besar masuk neraka tetapi mendapat siksaan yang ringan, inilah menurut mu’tazilah , posisi menengah antara mukmin dan kafir dan itupula keadilan.[10]
5)       ( amar ma’ruf, nahi mungkar) menyuruh kebaikan dan melarang keburukan
Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan iman harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Perbedaan madzab mu’tazilah dengan madzab yang lain mengenai hal ini terletak pada tatanan pelaksanaanya. Menurut mu’tazilah ,jika memang diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
4.pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran di dunia islam
kaum mu’tazilah masih dipandang  sebagai aliran yang menyimpang dari islam dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat islam, terutama di indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan rasio. Sebagai diketahui kaum mu’tazilah tidak hanya memakai argumen rasionil, tetapi juga memakai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi untuk mempertahankan pendirian mereka.
            Kaum mu’tzilah tidak disukai karena sikap mereka memakai kekerasan dalam menyiarkan ajarn-ajaran mereka dipermulaan abad. Kesalahpahaman terhadap aliran mu’tazilah timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi didalam perguruan- perguruan islam . yang banyak dibaca selama ini hanyalah buku-buku teologi yang dikarang oleh pengikut-pengikut al-asy’ari dan al-muturidi dan sebagai lawan dari mu’tazilah ,tulisan-tulisan mereka tentang ajaran mu’tazilah tidak selamanya bersifat obyektif. Bahkan pengarang tak segan-segan men cap kaum mu’tazilah sebagai golongan kafir.[11]
            Dizaman moderen dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknik sekarang , ajaran-ajaran kaum mu’tazilah yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul kembali dikalangan umat islam terutama dikalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran- ajaran mu’tazilah. Mempunyai faham-faham yang demikian tidaklah membuat mereka keluar dari islam.[12]








BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Peristiwa timbulnya aliran Mu’tazilah ialah sekitar Hasan al Basri dan kedua muridnya, yaitu Wasil bin ‘Atha dan Amr bin Ubaid (Hasan Basri hidup 642-728 M)dan Aliran Mu’tazilah timbul karena persoalan agama semata-mata.
Tokoh-tokoh Pemikiran Aliran Mu’tazilah yaitu Wasil bin ‘Atha, al- allaf, an Nazzham, al-jubbai, bisjr bin al-mu’tamir, al-chayyat, al-qadhi abdul jabbar, az-zamaihsyari dan sebagainya Aliran mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama  yaitu keesaan ( at-tauhid), keadilan(al’adlu), janji dan ancaman ( al-wa’du wal wa’idu), tempat diantara dua tempat (al- munzilatu bainul manzilataini ) dan menyuruh kebaikan dan melarang keburukan ( amar ma’ruf, nahi mungkar)
kaum mu’tazilah masih dipandang  sebagai aliran yang menyimpang dari islam dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat islam, terutama di indonesia. Pandangan demikian timbul karena kaum mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan rasioDizaman moderen dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknik sekarang , ajaran-ajaran kaum mu’tazilah yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul kembali dikalangan umat islam terutama dikalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran- ajaran mu’tazilah



DAFTAR PUSTAKA

nasution harun,teologi islam, UI-press ,jakarta :1972
Hanafi, pengantar theology islam, PT al husna zikra, jakarta :1995
Rozak Abdul, ilmu kalam, pustaka setia,B andung:2015


[1][1][1] Prov.Dr.H. Abdul Rozak,M.Ag, ilmu kalam,( bandung, pustaka setia, 2015) hlm 97
[2][2] A. Hanafi M.A , pengantar theology islam,( jakarta, PT al husna zikra, 1995) hlm 65
[3] Prov.Dr.H. Abdul Rozak,M.Ag, ilmu kalam,( bandung, pustaka setia, 2015) hlm 98
[4] A. Hanafi M.A , pengantar theology islam,( jakarta, PT al husna zikra, 1995) hlm 70
[5] Ibid. Hlm 71
[6] Ibid. Hlm 72
[7] Ibid.hlm 72-73
[8] Ibid.hlm 73
[9] Harun nasution,teologi islam,(jakarta: UI-press ,1972), hlm 53
[10] harun nasution,teologi islam,(jakarta: UI-press ,1972), hlm 54-57
[11] harun nasution,teologi islam,(jakarta: UI-press ,1972), hlm 58
[12] Ibid.hlm 60