STUDI KASUS PERSOALAN KEPENDUDUKAN DENGAN
EKONOMI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sosiologi Pembangunan
Dosen Pengampu : Ahmad Faqih, S.Ag., M.Si.
Disusun oleh :
Ahmad Ali As’adi (1501046003)
Diana Syahrotus S. (1501046013)
Ainis Shofwah Mufarriha (1501046031)
Ainurrika Nadhifa (1501046033)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pertambahan penduduk di suatu daerah di satu pihak merupakan modal
pembangunan, karena terdapat angkatan kerja sesuai perkembangan penduduk
tersebut, sedangkan dilain pihak akan menjadi beban pemerintah karena setiap
jiwa akan membutuhkan kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan dan papan,
penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas lain. Hal-hal mengenai
kependudukan dipelajari lebih dalam pada demografi. Menurut Philip M. Hauser
dan Duddley Duncan, 1959, demografi mempelajari jumlah, persebaran, teritorial
dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahannya dan sebab-sebab perubahan
itu, yang biasanya timbul karena natalitas (fertilitas), mortalitas, gerak
teritorial (migrasi) dan mobilitas sosial/perubahan status.[1]
Demografi tidaklah mempelajari penduduk sebagai individu, namun penduduk
sebagai kumpulan/sekelompok orang yang bertempat tinggal disuatu wilayah. Demografi
juga mempelajari pertambahan dan pengurangan penduduk. Namun disini yang akan
menjadi pokok kajian adalah pertambahan penduduk yang membawa dampak dan
menimbulkan persoalan kependudukan. Dalam proses pembangunan, utamanya di
Indonesia ada beberapa hal penting yang pemerintah perhatikan, sebagai contoh
adalah pertambahan penduduk. Lebih jelas mengenai persoalan kependudukan, akan
kami jelaskan pada bab pembahasan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja yang menjadi kajian persoalan pendudukan?
2.
Bagaimana persoalan kependudukan di Bengkulu?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Kajian Persoalan Kependudukan
a. Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk merupakan permasalahan
sosial yang paling mendesak negara-negara yang tergolong negara berkembang dan
terbelakang. Dimana, umumnya negara-negara tersebut memiliki tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tingkat pertumbuhan tersebut dapat menimbulkan
permasalahan. Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat dapat menimbulkan
implikasi, yaitu semakin besar jumlah penduduk yang harus dipenuhi
kebutuhannya.
Ada tiga ciri-ciri utama yang menandai
perkembangan dan permasalahan kependudukan di Inodnesia dewasa ini, yaitu: (1).
Tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif besar dan perlu ditekan, (2).
Penyebaran penduduk antar daerah yang kurang berimbang dan (3). Kualitas
kehidupan penduduk yang relatif rendah dan perlu ditingkatkan. Indonesia merupakan
salah satu negara yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif
besar. Berdasarkan hasil sensus tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia tercatat
sekitar 237,6 juta jiwa atau naik sekitar 32,5 juta jiwa dari perhitungan tahun
2000 lalu.[2]
b. Isu Global Kependudukan
Setiap tahun, lebih dari 93 juta orang menambah
jumlah penduduk dunia yang telah mencapai 5,5 miliar jiwa. Lebih dari 82 juta
dari tambahan orang ini setiap tahun lahir di negara Dunia Ketiga. Kendati
demikian, masalah pertumbuhan penduduk tidak hanya masalah jumlah, tetapi juga
terkait erat dengan masalah kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, muncul
pemikiran dari banyak pakar pembangunan mengenai pertumbunhan penduduk ini.
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai pengaruh
penduduk pada pembangunan. Pertama, adalah pandangan pesimis yang berpendapat
bahwa penduduk (pertumbuhan penduduk yang pesat) dapat mengantarkan dan
mendorong terjadinya pengurasan sumber daya, kekurangan tabungan, kerusakan
lingkungan, dan memunculkan masalah-masalah sosial. Kedua, adalah pandangan
yang optimis berpendapat bahwa penduduk adalah aset yang memungkinkan untuk
mendorong pemgembangan ekonomi dan promosi teknologi dan institusional sehingga
dapat mendorong perbaikan kondisi sosial.
Setidaknya ada tiga alasan di kalangan pakar
pembangunan mengapa pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memperlambat
pembangunan.
1.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mempersulit
pilihan antara meningkatkan konsumsi saat ini dan investasi yang dibutuhkan
untuk membuat konsumsi di masa mendatang semakin tinggi. Fakta menunjukkan
bahwa aspek kunci dalam pembangunan adalah penduduk yang semakin terampil dan
berpendidikan. Di Malawi misalnya, dengan penurunan angka kelahiran yang cepat
ternyata dapat meningkatkan tabungan sebanyak 50% lebih tinggi karena jumlah
anak yang memasuki sekolah sampai tahun 2015 meningkat dengan laju yang lebih
lambat.
2.
Di banyak negara yang penduduknya masih amat
tergantung dengan sektor pertanian, pertumbuhan penduduk mengancam keseimbangan
antara sumber daya alam yang langka dan penduduk. Sebagian karena pertumbuhan
penduduk memperlambat perpindahan penduduk dari sektor pertanian yang rendah
produksinya ke pertanian yang lebih modern.
3.
Pertumbuhan penduduk yang cepat membuat semakin
sulit melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perubahan ekonomi
dan sosial. Tingginya tingkat kelahiran akan menyumbang pertumbuhan kota yang
cepat yang menghasilkan pemekaran kota dan membawa masalah-masalah baru.[3]
c. Peraturan Perundang-undangan Tentang Kependudukan
Undang-Undang (UU) Nomor 52 tahun
2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan
pentingnya pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, meliputi semua aspek kehidupan,
termasuk perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga. upaya tersebut
ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang menerapkan prinsip
dasar pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
(UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menangani peraturan tersebut,
pemerintah pusat telah mengambil langkah dalam rangka memantapkan pembangunan
penduduk sebagai sumber daya untuk membangun bangsa dan menangani persoalan
pengelolaan penduduk dengan membentuk lembaga kependudukan, yaitu Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lembaga ini memiliki
tugas strategis menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga
Berencana (KB) dan berorientasi pada penggunaan kontrasepsi modern. Sejarah
membuktikan, tatkala persoalan penduduk dan keluarga menjadi prioritas
pemerintah dan ditangani secara sinergis oleh Kementerian Kependudukan bersama
BKKBN dan dipimpin oleh Menteri Negara di era tahun 1990-an, permasalahan
penduduk dan keluarga dengan segala karakteristiknya dapat dikondisikan
sehingga tidak menghambat upaya pembangunan di segala bidang.
Namun, langkah tersebut juga tidak luput dari
permasalahan lagi. Masih rendahnya pembangunan kependudukan dan keluarga kecil
berkualitas, masih tingginya laju pertumbuhan, kurangnya pengetahuan dan
kesadaran pasangan usia subur dan remaja akan hak-hak reproduksi, serta masih
lemahnya ekonomi dan ketahanan keluarga, merupakan beberapa permasalahan yang
masih tersisa dan menjadi tugas pemerintah untuk menanganinya.[4]
B.
Persoalan Kependudukan di Bengkulu
Permasalahan kependudukan di Provinsi Bengkulu telah berada pada situasi
yang mengkhawatirkan. Hal ini ditandai dengan tingginya angka laju pertumbuhan
penduduk (LPP) dan angka fertilitas total (TFR) di Provinsi Bengkulu yang
melebihi angka rata-rata nasional. Sumber data yang digunakan adalah Sensus
Penduduk (SP) 2010 dan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 dari
Badan Pusat Statistik serta data hasil mini survey BKKBN. Berdasarkan hasil analisa
tersebut, menunjukkan bahwa selama empat dekade (1970-2010) jumlah penduduk
Provinsi Bengkulu mengalami peningkatan yang signifikan yaitu naik sebesar tiga
kali lipat.
Dari hasil sensus penduduk tahun 2010, kondisi kependudukan di Bengkulu
tidak lebih baik dari keadaan kpendudukan di tingkat nasional. LPP Provinsi
Bengkulu masih lebih tinggi (1,69 %) dibanding LPP Indonesia (1,49 %). Lebih
jauh, perkembangan total fertility rate (TFR) sejak tahun 1990 hingga
tahun 2010 masih menunjukkan angka diatas dua persen, yang lebih tinggi
dibandingkan TFR nasional (2,23%). Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,02 %
pada tahun 2010 (dibawah rata-rata pertumbuhan nasional 4,55%), jelas Bengkulu
bukan daerah industri yang sering dikaitkan dengan tingginya tingkat migrasi
masuk. Hal ini dapat dilihat dari tenaga kerja sektor industrsi yang hanya 7,3%
(BPS, 2010). Informasi ini menjelaskan bahwa kontribusi terbesar tingginya LPP
Bengkulu lebih dipengaruhi oleh faktor fertilitas dan mortalitas, yang dalam
ilmu demografi dikenal dengan natural growth.
Tabel Laju Pertumbuhan Ekonomi
Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2009
Tahun
|
Bengkulu (%}
|
Indonesia (%}
|
2003
|
5,37
|
5,69
|
2004
|
5,38
|
5,99
|
2005
|
5,82
|
6,57
|
2006
|
5,95
|
6,13
|
2007
|
6,03
|
6,92
|
2008
|
4,93
|
6,85
|
a. Perkembangan Jumlah Penduduk
Penduduk Bengkulu mengalami peningkatan jumlah
yang signifikan sejak awal tahun 1970. Pada saat itu, Bengkulu memisahkan diri
dari Sumatera bagian selatan dan menjadi provinsi sendiri. Dalam periode
1970-2010, jumlah penduduk Bengkulu telah meningkat kira-kira tiga kali lipat
yaitu dari 519.316 jiwa menjadi 1.715.518 jiwa. Sumber informasi menyatakan
bahwa penibgkatan jumlah penduduk besar-besaran terjadi pada periode 1980-2000.
Periode ini merupakan periode Provinsi Bengkulu menjadi salah satu daerah
tujuan utama proram transmigrasi. Sekitar 50% lebih transmigran dikirim ke
Bengkulu pada periode Repelita II.
Realitas pengiriman transmigran Jawa ke Provinsi Bengkulu tersebut menjelaskan bahwa
migrasi
menjadi
faktor
dominan
peningkatan
jumlah
penduduk pada
periode 1970-1990 sehingga mudah dipahami apabila angka laju
pertumbuhan penduduk Bengkulu
pada periode tersebut mencapai 4,39 persen, tertinggi nomor tiga
di Indonesia
setelah Provinsi Lampung
dan Kalimantan Timur. Angka laju pertumbuhan
penduduk
ini (4,39 persen)
jauh di atas rata-rata
laju pertumbuhan penduduk nasional yang hanya 2,3 persen pada periode yang sama (Hugo, dkk 1987: 42-43).
Meskipun dari segi
jumlah mengalami peningkatan yang dramatis sejak tahun 1980, struktur penduduk Bengkulu hingga
saat ini tidak mengalami perubahan besar. Struktur penduduk Bengkulu masih menunjukkan bentuk yang konvensional, yaitu piramida dengan proporsi penduduk
usia 0-14 tahun
yang masih
dominan.
Data hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa penduduk usia 0-14 tahun mencapai 30,28 persen, sepertiga lebih
dari total penduduk Provinsi
Bengkulu.
Hasilnya: (a) fertilitas di Provinsi
Bengkulu
belum
dapat
dikendalikan secara baik, (b) berat
pemerintah Provinsi Bengkulu menanggung
beban dalam menyediakansarana dan prasarana
dasar, antara
lain kesehatan, pendidikan dan
sosial (c) angka ketergantungan masih cukup
tinggi; dan
(d) ketika penduduk muda tersebut mencapai usia reproduksi, penduduk akan tumbuh
dengan cepat untuk beberapa tahun mendatang. Sejak tahun 1970 hingga 2010,
rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk Bengkulu di atas angka seratus yang artinya penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuan.
b. Laju Pertumbuhan Penduduk
Sejak memisahkan diri dari Sumatra
bagian selatan, Provinsi Bengkulu mulai berkembang meskipun sangat lambat. Sebagai wilayah baru yang
selama bergabung dengan Sumatra
Selatan relatiftidak mendapat
perhatian (terisolir),
penduduk Bengkulu menunjukkan citranya sebagai
masyarakat tradisional yang jauh dari sentuhan modernisasi. Sebagaimana layaknya
masyarakat tradisional yang digambarkan oleh
teori
transisi demografi, masyarakat Bengkulu merupakan
masyarakat yang pro-natalis yang ditandai
dengan tingginya angka fertilitas sebagai respon terhadap tingginya
angka mortalitas (Hugo dkk; 1987; dan Todaro dan Smith, 2003: 303-305).
Pada masyarakat seperti ini, anak menjadi
aset dan memiliki nilai ekonomi tinggi sebagaimana dijelaskan oleh Leibenstein
(peletak dasar dari konsep
yang dikenal dengan"teori ekonomi tentang
fertilitas") anak dilihat dari dua aspek, yaitu aspek kegunaannya (utility) dan biaya (cost). Kegunaannya adalah
memberikan kepuasaan, balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi, serta menjadi sandaran
hidup orang tua di rnasa tua. Sebaliknya, pengeluaran untuk membesarkan anak adalah
biaya seluruh kebutuhan dari mempunyai anak tersebut.
Tingginya angka laju
pertumbuhan penduduk pada periode 1970-1990 tidak terlepas dari apa yang dijelaskan teori Transisi Demografi. Artinya,
pertumbuhan alamiah (natural growth) tinggi dan arus migrasi masuk juga tinggi sebagai
dampak kebijakan transmigrasi oleh pemerintah Orde Baru yang
menjadikan Provinsi Bengkulu sebagai salah satu tujuan utama
penempatan transmigran dari pulau Jawa dan Bali.
Perkembangan laju pertumbuhan penduduk Provinsi Bengkulu.
pada periode
1970-1990, angka
pertumbuhan penduduk Provinsi Bengkulu
mencapai
4,39 persen, jauh di atas laju pertumbuhan
penduduk Indonesia secara keseluruhan yang hanya 2,3 persen. Namun,
sejak periode 1990-2000, laju pertumbuhan penduduk Bengkulu mengalami penurunan yang dramatis dari 4,49 persen menjadi 1,6 persen.
Dari fakta demografi ini dapat dijelaskan bahwa penurunan ini sepertinya tidak ada hubungannya dengan modernisasi
sebagaimana yang dijelaskan
oleh teori transisi demografi, yaitu secara makro tingkat modernisasi (level of development) berpengaruh terhadap penurunan laju pertumbuhan penduduk, tingkat pembangunan sering
diukur dengan angka
pertumbuhan ekonomi.
Laju pertumbuhan ekonomi
provinsi masih di bawah
laju pertumbuhan rata-rata
nasional bahkan mengalami penurunan yang tajam menjadi 4,93 pada 2008. Artinya, pembangunan di provinsi berjalan
lambat dan tidak berhubungan dengan penurunan laju pertumbuhan penduduk. Dengan
kata lain, ada faktor penyebab
lain yang lebih signifikan dalam mempengaruhi
penurunan laju pertumbuhan penduduk
yang tajam tersebut. Penurunan yang sangat tajam ini setidaknya
dipengaruhi oleh beberapa
faktor utama. Pertama,
sejak Repelita IV (awal
1990) program nasional transmigrasi sudah mengalami penurunan
dari segi jumlah transmigran yang dilcirim ke Sumatera. Pada awal Repelita
IV hanya 57 persen dari transmigrasi.
Konsekuensinya, sumbangan migrasi dalam mempengaruhi angka laju pertumbuhan penduduk di Sumatera jaga menurun, termasuk di Provinsi
Bengkulu. Kedua, penurunan angka laju
pertumbuhan Provinsi Bengkulu tidak terlepas dari pengaruh keberhasilan program keluarga berencana
(KB) yang dimotori BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional). Keberhasilan
program
Keluarga Berencana
di Indonesia telah diakui oleh dunia. Komitmen Bank Dunia, WHO, dan UNDP telah
mampu menurunkan angka pertumbuhan penduduk Indonesia
dari 2,3 persen
pada periode 1970-1980 menjadi 1,4 pada periode 2000-2010. Program nasional ini dapat mencegah
kelahiran
sebanyak 85 juta penduduk pada tahun 2000 dan 100 juta
penduduk
pada
tahun
2010.
Meskipun angka pertumbuhan penduduk Bengkulu mengalami penurunan
tajam, pada tahun 2010 angkanya masih lebih
tinggi
(1,69 persen) daripada LPP nasional (1,46 persen). Data ini menjelaskan bahwa
upaya pengendalian kelahiran di
Provinsi Bengkulu tidak lebih baik dari provinsi
lain di Indonesia, seperti DIY, Jawa Tengah, DKI
Jakarta, Jawa
Timur dan Bali yang angka laju pertumbuhan penduduk mereka pada 2010 di bawah 1 persen
(BPS, 2010).
Beberapa pemerhati
kependudukan sepakat bahwa melemahnya program pengendalian kelahiran salah satunya disebabkan oleh peran BKKBN
yang termarginalkan sejak era reformasi.
Isu pengedalian penduduk terkooptasi
oleh
eforia politik yang berkepanjangan hingga
saat ini. Anggaran pembangunan dan fokus perhatian
pemerintah lebih
berorientasi pada
agenda-agenda politik, seperti pemilu, pilkada, serta korupsi elite
politik dan pemerintah. Lebih
jauh, peran BKKBN dikerdilkan dengan kebijakan otonomi tentang tugas
pengendalian
penduduk kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi pengurangan petugas
lapangan Keluarga Berencana (PLKB) secara nasional
sejak sebelum otonomi daerah dan setelah otonomi daerah, dari 35,000 petugas menjadi
22,000 petugas, sedangkan institusi yang mengurusi
KB telah digabung
dengan lembaga-lembaga lain
seperti Dinas Sosial atau Pemberdayaan Perempuan sehingga upaya pengendalian penduduk menjadi tidak fokus
(Permana, 2011).
Permasalahan tersebut
paling tidak telah
berdampak pada peningkatan angka LPP nasional dari 1,46
persen menjadi 1,49 persen. Kenaikan ini tidak harus terjadi apabila
ada komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap upaya pengendalian penduduk secara serius sehingga angka pertumbuhan tersebut dapat diturunkan untuk mencapai
target NRR
sama dengan 1 pada MDG's 2015.
c. Tingkat Kelahiran (TFR-Total Fertility Rate)
Harus diakui bahwa komitmen rezim Orde Baru melalui BKKBN dalam upaya penurunan dan pengendalian kelahiran telah membawa dampak
yang signifikan terhadap angka kelahiran
di seluruh provinsi di Indonesia, tidak terkecuali Provinsi Bengkulu. Dari periode 1980-2010, peserta KB aktif meningkat dari hanya 5 persen menjadi
61 persen secara nasional
Kondisi di tingkat nasional tidak berbeda jauh dengan kondisi
di Provinsi Bengkulu bahkan penurunan TFR di
Bengkulu lebih besar dibanding dengan penurun di tingkat nasional. Dalam periode 1971-2010,angka TFR di Bengkulu turun dari 7 menjadi 2,5. Namun demikian selama, 10 tahun
terakhir TFR Bengkulu meningkat
dari 2,4 menjadi
2,5 persen, bahkan lebih tinggi dari pada
angka rata-rata TFR nasional. Hal ini menggambarkan bahwa sejak orde reformasi, upaya pengendalian penduduk di
Bengkulu terabaikan.
Hasil sensus penduduk 2010
sungguh di luar perkiraan,
TFR Bengkulu 2,5 lebih besar daripada TFR tahun 2000 (2,4).
Hal ini mengindikasikan belum
padunya arah dan strategi upaya-upaya mewujudkan pembangunan berbasis kependudukan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketidaktegasan pemerintah pusat terhadap persoalan kependudukan dalam derajat tertentu telah
menyebabkan
pemerintah daerah memarginalkan isu kependudukan. Hal
itu diperkuat oleh
hasil sensus
2010 yang menunjukkan fakta
memprihatinkan berkaitan
dengan
penanganan masalah kependudukan sejak
reformasi.
Lebih jauh, upaya penurunan angka kelahiran selalu berhadapan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat. Masyarakat Bengkulu yang sebagian besar adalah komunitas tradisional masih cukup kuat memegang nilai-nilai sosial-tradisional yang
terkadang bertolak belakang
dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Penelitian
yang dilakukan
mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Bengkulu di Kabupaten
Seluma menunjukkan praktik kawin usia muda masih banyak terjadi karena
alasan
budaya
(Pararnita,
2010).
Perkawinan usia dini akan memberi peluang
jumlah
anak yang banyak karena masa fekunditasnya
lebih panjang. Hal demikian sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Davis dan Blake (1956).
Tingginya angka
fertilitas penduduk Bengkulu pada tahun 2010 juga dipengaruhi oleh faktor jumlah anak ideal dalam keluarga. Sebagaimana dikemukakan oleh Freedman (1962) berkaitan dengan nilai ekonomi anak. Beberapa penelitian yang dilakukan
di Indonesia pada tahun 1980 menyimpulkan
bahwa jumlah
anak yang ideal dalam satu keluarga adalah antara
4-6
orang
(Adioetomo dkk., 2010). Mengubah paradigma seperti ini tentu
saja
bukan
hal yang
mudah,
meskipun
juga
bukan
hal
yang
mustahil
untuk
dilakukan.
Modemisasi dan peningkatan pendidikan masyarakat Indonesia diharapkan akan mampu merubah pandangan-pandangan yang
lebih berorientasi ke norma keluarga kecil (nuclear family) seperti sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa teori fertilitas, khususnya teori ekonomi
fertilitas oleh Freedman maupun Todaro dan Smith.
Namun, belum ada kajian yang dapat
dijadikan
rujukan mengenai jumlah anak ideal dalam setiap keluarga
di era pascareformasi.
d. Status ekonomi
Seperti telah
dikemukakan sebelumnya, kekayaan tidak
berhubungan dengan
fertilitas. Penjelasan yang menghubungkan kekayaan dengan fertilitas adalah pandangan
yang dikemukakan oleh Maltus bahwa ada hubungan positif antara tingkat
kemiskinan dan tingkat fertilitas. Mereka yang memiliki kekayaan lebih akan
cenderung menambah jumlah anak
karena mereka
merasa mampu untuk mencukupi kebutuhan
pangan (Maltus dalam
Todarodan Smith, 2003:
307-309).
Namun demikian, beberapa penelitian di Indonesia yang dilakukan di Jawa
menunjukkan fakta yang berbeda, yaitu antara
tingkat kekayaan tidak ada
hubungannya dengani tingkat
fertilitas (Hugo et.al, 1987: 157-8). Dari kajian data sensus tahun 1980Hugo menjelaskan bahwa ada faktor
lain yang mempengaruhibaik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Faktor
tersebut antara
lain: tingginya angka
perceraian, praktik yang lama dari perilaku
abstinence dan in fecundity.
Di Bengkulu, kekayaan yang
dimiliki oleh
penduduk tidak
berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi. Mereka yang datang dari kalangan status ekonomi rendah memiliki tingkat partisipasi yang relatif sama dengan mereka dari kalangan
ekonomi tinggi, yaitu 77 ,4 persen berbanding dengan 75,2 persen, dalam keikutsertaan Keluarga
Berencana. Namun, belum ada
informasi yang dapat menjelaskan keadaan tersebut. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kesadaran dari wanita dengan status ekonomi
rendah terhadap perlunya mengontrol kelahiran sudah cukup atau karena
upaya intervensi pemerintah yang optimal dengan melakukan sosialisasi, pelayanan, dan pemberian informasi yang terus-menerus terhadap mereka.
e. Saran dan Rekomendasi
Terkait dengan fakta kependudukan yang telah dibahas sebelumnya adalah:
(1) Untuk jangka panjang, keberhasilan pengendalian fertilitas sangat dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat terhadap pentingnya KB. Hal-hal yang
berkaitan dengan upaya penumbuhan kesadaran masyarakat ini harus diupayakan secara maksimal melalui
berbagai kegiatan sosialisasi,
pendidikan, pembimbingan,pemantauan, dan pelayanan yang lebih optimal. Apa yang dicapai
selama ini masih mengandalkan intervensi pemerintah yang dalam derajat tertentu
ada "pemaksaan" sebagaimana yang dilakukan Orde
Barn. Oleh karena itu,
ketika intervensi mulai
lemah, masyarakat kembali kepada terhadap
norma keluarga kecil maupun jumlah anak ideal dalam keluarga.
(2) Untuk menumbuhkan kesadaran tersebut, upaya mengaktifkan
lagi berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru masih
diperlukan seperti mengembalikan peran BKKBN,
membangun komitmen
pemerintah, pendanaan yang memadai dan rentang kendali
dan koordinasi yang baik.
(3) Sudah saatnya peran institusi
kependudukan
diotonomkan sesuai dengan mandat UU No 52 tahun 2009, tidak digabung dengan institusi, lain sehingga program
dan kegiatannya akan lebih fokus dalam menangapi
berbagai permasalahan kependudukan dan dampak ikutannya.
(4) Kajian-kajian
yang lebih berorientasi pada faktor-faktor mikro lebih ditingkatkan karena
faktor-faktor tersebut berkorelasi kuat dengan tingkat
kesadaran masyarakai terhadap upaya pengendalian fertilitas. Untuk itu, membangun
kemitraan antara BKKBN dengan institusi terkait lebih ditingkatkan seperti kerja sama dengan Iembaga swadaya masyarakat yang mempunyai
kepedulian terhadap masalah
kependudukan dan juga membangun kerja sama dengan lembaga-lembaga agama dan
para tokoh masyarakat..[5]
BABIII
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Pertumbuhan penduduk
merupakan permasalahan sosial yang paling mendesak negara-negara yang tergolong
negara berkembang dan terbelakang. Tingkat pertumbuhan tersebut dapat
menimbulkan permasalahan. Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat dapat
menimbulkan implikasi, yaitu semakin besar jumlah penduduk yang harus dipenuhi
kebutuhannya. Salah satu implikasi yang mungkin timbul adalah pada bidang
ekonomi.
Permasalahan
kependudukan di Provinsi Bengkulu telah berada pada situasi yang
mengkhawatirkan. Hal ini ditandai dengan tingginya angka laju pertumbuhan
penduduk (LPP) dan angka fertilitas total (TFR) di Provinsi Bengkulu yang
melebihi angka rata-rata nasional. Berdasarkan hasil analisa, menunjukkan bahwa
selama empat dekade (1970-2010) jumlah penduduk Provinsi Bengkulu mengalami
peningkatan yang signifikan yaitu naik sebesar tiga kali lipat. Namun,
peningkatan jumlah penduduk ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas
kehidupan penduduknya, utamanya dibidang ekonomi, sehingga menimbulkan
permasalahan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Syaadah,
Nilatus. Analisis Dampak Pertambahan Penduduk Terhadap Penyerapan Angkatan
Kerja. Jurnal Ilmiah Pendidikan Geografi Vol. 2 No. 1 Oktober 2014
Muhi, Ali
Hanapiah. 2011,Praktek Lingkungan Hidup. Jawa Barat: Institut
Pemerintahan dalam Negeri.
Kuncoro,
Mudrajad. 2010. Dasar-Dasar Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta:UPP STIM YKPN.
Triningsih,
Anna. Masalah Demografis dan Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.
Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. 8 No. 2 Tahun 2013 (ISSN 1907-2902)
BKKBN. 2013. Profil Kependudukan dan
Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional.
[1] Nilatus Syaadah. Analisis Dampak Pertambahan Penduduk Terhadap
Penyerapan Angkatan Kerja. Jurnal Ilmiah Pendidikan Geografi Vol. 2 No. 1
Oktober 2014
[2] Dr.Ir.H. Ali Hanapiah Muhi, MP. Praktek Lingkungan Hidup. (Jawa
Barat: Institut Pemerintahan dalam Negeri. 2011)
[3] Mudrajad Kuncoro. Dasar-Dasar Ekonomika
Pembangunan. (Yogyakarta:UPP STIM YKPN. 2010) hlm. 118-119
[4] Anna Triningsih. Masalah Demografis dan Kebijakan Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau. Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. 8 No. 2 Tahun 2013 (ISSN
1907-2902)
[5] BKKBN. Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia. (Jakarta:
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar