DAKWAH PADA MASYARAKAT MULTIKULTURAL
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Sosiologi Dakwah
Dosen
Pengampu : Ahmad Faqih,S.Ag,M.Si
Disusun
Oleh :
M.
saiful Amin (1501046006)
Rofiatul
Azizah (1501046024)
Ainurrika
Nadhifa (1501046033)
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar belakang
Islam adalah agama dakwah, artinya agama
yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan
dakwah. Kemajuan dan kemunduran umat Islam, sangat berkaitan erat dengan
kegiatan dakwah yang dilakukannya. Indonesia merupakan negara yang memiliki
masyarakat yang majemuk. Kemajemukan Indonesia bisa dilihat dari keanekaragaman
bahasa, suku, ras dan agama yang ada. Setiap kelompok sosial memiliki norma dan
kebudayaan yang berbeda-beda. Secara sederhana, keragaman norma dan kebudayaan
pada setiap kelompok sosial itulah yang melahirkan masyarakat multicultural.
Dengan jumlah penduduk yang
besar dan juga jumlah pulau yang
sangat banyak ,memungkinkan terjadinya
perbedaan di berbagai bidang, mulai dari agama, suku, ras, dan bahasa. Dampak
dari perbedaan tersebut beragam, mulai
dari yang positif hingga dampak negative yang berakibat pada terjadinya
konflik. Oleh karena itu,dalam makalah ini kami akan membahas dahulu tentang masyarakat
multikultural,Kemudian
selain itu juga membahas tentang dakwah pada masyarakat multikultural,dakwah
berbasis multikultural, dan contoh studi
kasus dakwah pada masyarakat multikultural.
- Rumusan masalah
1. Apa
pengertian masyarakat multikulturalisme?
2. Bagaimana
dakwah pada masyarakat multikultural?
3. Bagaimana
dakwah berbasis multikultural?
4. Bagaimana
studi kasus dakwah pada masyarakat multikultural?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Masyarakat Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah
kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi
(banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata
itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya
dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.[1]
Masyarakat multikultural adalah
masyarakat yang terdiri atas beragam kelompok sosial dengan sistem norma dan
kebudayaan yang berbeda-beda. Masyarakat multikultural merupakan bentuk dari
masyarakat modern yang anggotanya terdiri atas berbagai golongan, suku, etnis (
suku bangsa), ras, agama, dan budaya. Mereka hidup bersama dalam wilayah lokal
maupun nasional. Bahkan mereka juga berhubungan dengan masyarakat
internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung.[2]
Multikulturalisme menuntut masyarakat
untuk hidup penuh toleransi, saling pengertian antar budaya, dan antar bangsa
dalam membina suatu dunia baru. Dengan demikian, multikulturalisme dapat
menyumbangkan rasa cinta terhadap sesama manusia dan sebagai alat untuk membina
dunia yang aman dan sejahtera.[3]
- Dakwah Pada
Masyarakat Multikultural
Dakwah adalah sejumlah pengetahuan tentang proses
upaya mengubah sesuatu situasi kepada situasi lain yang lebih baik sesuai
ajaran islam, atau proses mengajak manusia ke jalan Allah.[4]
Dakwah dimasyarakat akan
memiliki posisi ganda, pada satu sisi dakwah merupakan bagian dari system
sosial yang berproses sesuai dengan pranata-pranata khusus yang berlaku di
masyarakat setempat. Siapa yang layak menjadi da’I , apa metode dakwah, materi
dakwah, media dakwah yang digunakan dan siapa saja yang bisa menjadi mad’u,
semuanya ditentukan berdasarkan tipe masyarakatnya. Sehingga tipe masyarakat
akan menentukan karakteristik dakwahnya. Pada sisi lain dakwah berposisi
sebagai agen perubahan di masyarakat. Dakwah memiliki maksud untuk mengubah
tatanan sosial masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama islam,menuju
suatu tatanan sosial yang diciptakan oleh agama islam.[5]
1) Ciri
masyarakat multikultural
Masyarakat multikultural merupakan
tipikal masyarakat yang didalamnya terdapat berbagai macam etnik yang hidup
bersama. Heterogenitas sebenarnya merupakan watak dasar sebuah masyarakat, yang
membedakannya dengan komunitas. Jika dalam satu masyarakat atau beberapa
masyarakat suatu bangsa terdiri dari etnik yang beraneka ragam seperti di
indonesia, oleh para antropolog disebut sebagai masyarakat majemuk.
Ciri
masyarakat multikultural:
·
Mengakui keanekaragaman
kebudayaan
·
Kelompok-kelompok
budaya berada dalam posisi sederajat
·
Tatanan masyarakat
multikultural memungkinkan terjadinya interaksi yang aktif diantara unsur-unsurnya
melalui proses belajar
·
Memperjuangkan
terciptakan keadilan sosial antara berbagai unsur yang berbeda [6]
·
Terjadi segmentasi,
yaitu masyarakat yang terbentuk oleh bermacam macam suku ras, yang lain lain
tetapi masih memiliki pemisah
·
Memiliki struktur dalam
lembaga yang non komplementer
·
Konsensus rendah
maksudnya adalah dalam kelembagaan pastinya memerlukan adanya suatu kebijakan
dan keputusan
·
Relatif potensi ada
konflik, dalam masyarakat majemuk pastinya terdiri dari berbagai macam suku
adat dan kebiasaan masing masing
·
Adanya dominasi politik
terhadap kelompok lain[7]
2) Bentuk
masyarakat multikultural
J.S Furnivall membedakan masyarakat
dalam empat kategori atau bentuk sebagai berikut:
·
Masyarakat majemuk
dengan komposisi seimbang,terdiri atas
sejumlah komunitas dan mempunyai kekuatan kompetitif serta seimbang.
·
Masyarakat majemuk
dengan mayoritas dominan, terdiri atas
sejumlah komunitas etnis dengan kekuatan tidak seimbang
·
Masyarakat majemuk
dengan minoritas dominan mempunyai arti
bahwa kelompok mioritas memiliki keunggulan kompetitif sehingga mendominasi
kehidupan politik atau ekonomi masyarakat.
·
Masyarakat majemuk
dengan fragmentasi merupakan
masyarakat majemuk yang terdiri atas komunitas etnis kecil sehinggatidak
memiliki posisi dominan dalam politik dan ekonomi. [8]
3) Konsep
dakwah pada masyarakat multikultural
·
Dakwah mengakui adanya
perbedaan madú secara individu dan budaya.
·
Dakwah mengangap bahwa
masing- masing madú mempunyai perbedaan derajat sesuai dengan kedudukan dan
prestasinya.
·
Dakwah perlu
menumbuhkan interaksi antara mad’ú melalui cara konfensional dan komunikasi.
·
Dakwah perlu mendorong
tumbuhnya sikap menghormati dan menghargai perbedaan masing- masing madú untuk
mewujudkan keadilan.
4) Strategi
dakwah multikulturalq
·
Mubalig penting
mengetahui terlebih dahuku tentang kondisi sosial madú sebelum melakukan
kegiatan berdakwah.
·
Mubaligh sayogyanya
mempertimbangkan kondisi sosial madú dalam menentukan materi dakwah yang
relevan, metode dakwah, media dakwah.
·
Mubaligh dalam
memberikan materinya, dengan cara memberikan pilihandan problem solving, dari
pada menggurui, menyalahkan dan mencacimaki.
5) Ciri
khas dakwah multikultural menurut Ilyas Ismail dan Prio Hotman
·
Mengakui dan menghargai
keunikan dan keragaman etno –religio
·
Mengakui adanya titik
kesamaan dalam keragaman etno-religio
·
Paradigma fenomena
keagamaan sebagai kultur
·
Semestinya progresivisme
dan dinamisme dalam memahami agama
6) Pendekatan
dakwah multikultural menurut Ilyas dan
Prio Hotman
·
Target dakwah diarahkan
pada pemberdayaan kualitas umat islam dalam ranah interanal dan kerjasama serta
dialog antar agama dan budata dalam ranah eksternal
·
Dalam multikultural
menggagas ide tentang kesetaraan hak hak sipil warga negara termasuk hak hak
kelompok minoritas
·
Dakwah multikultural
memilih untuk menggunakan pendekatan kultural ketimbang harakah
·
Dakwah meltikultural
menggagas ide dialog antar budaya dan keyakinan
·
Dakwah multikultural
merasa perlu menyegarakan kembali pemahaman islam kelasik daeangan cara
melakukan keinterpretasi dan rekontruksi pemahaman islam sesuai dengan
perkembangan masyarakat global multikultural[9]
- Dakwah Berbasis
Multikultural
Beragam budaya, agama, etnis dan
golongan membutuhkan model pengelolaan yang sesuai supaya dakwah tidak
melenceng dari cita-cita luhurnya. Substansi dakwah multikulturalisme
dikembangkan sebagai respon atas kondisi yang dilatarbelakangi oleh keragaman
budaya atau masyarakat multicultural, utama masyarakat yang sudah maju. Dakwah
multikulturalime secara konsepsional mempunyai dua pandangan dengan makna
yang saling berkatian. Pertama, multikultural sebagai kondisi kemajemukan
kebudayaan atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi ini
diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi. Kedua, multikulturalisme
merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa
agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari
semua kelompok etnik atau suku bangsa. Hal ini beralasan, karena bagaimanapun
juga, semua kelompok etnik atau suku bangsa telah memberi kontribusi
bagi pembentukan dan pembangunan suatu bangsa.
Dalam kaitan dengan kebijakan
kedakwahan, multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diitrodusir ke dalam
kegiatan dakwah. Jadi dakwah berwawasan multikultural, merupakan kebijakan
dakwah yang mampu mengayomi setiap kelompok dan mengapresiasi perbedaan kultur
di masyarakat. Setiap kebijakan dakwah diharapkan mampu mendorong lahirnya
sikap apresiatif, toleransi, prinsip kesetaraan antar budaya, kesetaraan
gender, kesetaraan antar pelbagai kelompok etnik, kesetaraan bahasa, agama, dan
sebagainya.
a. Hakikat
Dakwah Berbasis Multikulturakisme
Dasar pemikiran dakwah multikultural
sejatinya berangkat dari pandangan dakwah kultural, yakni pengakuan doktrinal
Islam terhadap keabsahan eksistensi budaya dan kearifan lokal yang tidak
bertentangan dengan prinsip tauhid. Namun, dakwah multikultural berangkat lebih
jauh dalam hal intensitas atau keluasan cakupan kulturalnya. Dakwah
multikultural, memikirkan bagaimana pesan dakwah ini disampaikan dalam situasi
masyarakat plural, baik kultur maupun keyakinannya. Pendekatan multikultural,
mencoba melihat yang banyak ragam tersebut sebagai sebuah keunikan tersendiri
dan tidak seharusnya dipaksa untuk disatukan, tetapi tetap berjalan harmonis
dalam keragaman dan perbedaan[10].
b. Karakteristik
Dakwah Berbasis Multikulturalisme
Dalam pendekatan dakwah berbasis
multikulturalisme ada empat ciri khas, yaitu :
Pertama,
mengakui dan menghargai keunikan dan keragaman etno-religio. Masing-masing budaya
dan keyakinan yang dimiliki agama, menjadi sesuatu yang sangat dihargai dan
dihormati. Kedua, mengakui adanya titik kesamaan dalam keragaman etno-religio.
Dalam pendekatan, multikulturalisme, diakui adanya titiktitik kesamaan antara
pelbagai keyakinan dan kultur yang beraneka ragam di samping juga tidak ditola
adanya aspek-aspek yang tidak mungkin dikompromikan. Ketiga, paradigma
fenomena keberagamaan sebagai kultur. Pendekatan multikulturalisme mencoba
memahami tingkah laku umat beragama sebagai sebuah fenomena kultur. Agama dan
budaya saling mempengaruhi. Pendekatan multikulturalisme berusaha memahami dan mengakomodasi
perbedaan-perbedaan keyakinan tersebut dalam konsep dan bingkai budaya yang
mendukung adanya toleransi (tasamuh). Keempat, kemestian progesivisme
dan dinamisme dalam memahami agama. Karena yang dilihat melalui pendekatan multikulturalisme
adalah tingkah laku beragama sebagai sebuah kultur. Pendekatan
multikulturalisme memiliki sifat dinamis-progesif, yang bermakna bahwa setiap
kebudayaan agama itu adalah suatu proses yang tumbuh dan berkembang secara
berkelanjutan, sejalan dengan pemahaman dan penghayatan tentang agama dan
interaksi antar sesame, dan seiring dengan dinamika dan perkembangan zaman.[11]
c. Pendekatan
Dakwah Berbasis Multikulturalisme
Ada beberapa pendekatan dalam kegiatan
dakwah berbasis mulikulturalisme, diantaranya :
1) pemikiran
dakwah berbasis multikulturalisme berbeda dengan pemikiran dakwah konvensional
yang menempatkan konversi iman sebagai inti dari dakwah. Akah tetapi, dakwah
berbasis multikulturalisme menekankan agar target dakwah lebih diarahkan pada pemberdayaan
kualitas umat dalam ranah internal, dan kerjasama serta dialog antar agama dan
budaya dalam ranah eksternal. Pendekatan dakwah multikultural, menilai bahwa
fenomena konversi non muslim menjadi muslim adalah efek samping dari tujuan
dakwah, dan bukan menjadi tujuan utama dalam dakwah. Sehingga orientasi sasaran
dakwah tidak menekankan pada aspek kuantitas sasaran dakwah, melainkan lebih
pada kualitas sasaran dakwah.
2) dalam
ranah kebijakan publik, dakwah multikultural menggagas ide tentang kesetaraan
hak-hak warga negara, termauk hak-hak kelompok minoritas. Tujuannya, agar tidak
ada upaya penindasan dari kaum mayoritas terhadap kaum minoritas.
3) dalam
ranah sosial. Dakwah berbasis multikulturalisme memilih pendekatan kultural
yang mengedepankan strategi sosialisasi Islam sebagai bagian integral umat, dan
bukan sesuatu yang asing melalui pengembangan gagasan Islam sebagai sistem
moral.
4) dalam
konteks pergaulan global. Dakwah multikulturalisme menggagas ide dialog antar
budaya dan agama. Hal ini, bertujuan untuk merespon fenomena globalisasi yang
dari hari ke hari sekat pembatas antarbudaya dan antar agama mulai hilang.[12]
- Studi Kasus Dakwah
Pada Masyarakat Multikultural
Keanekaragaman dalam masyarakat ternyata
memunculkan berbagai persoalan bagi bangsa Indonesia. Konflik-konflik yang
terjadi di Indonesia umumnya muncul sebagai akibat keanekaragaman etnis, agama,
ras, dan adat, seperti konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat.[13]Salah
satu dimensi menonjol dari kemajemukan itu adalah keragaman etnik atau suku
bangsa dengan mengacu pada data di Direktorat Kebudayaan.Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, mencatat bahwa di Indonesia saat ini terdapat 525 kelompok
etnik. Dalam sejarahnya, kelompok etnis tertentu biasanya mendiami
atau tinggal di sebuah pulau, sehingga sebuah pulau di wilayah nusantara
seringkali identik dengan etnik tertentu. Pulau Kalimantan,misalnya, identik
dengan etnik Dayak (walau di dalamnya terdapat sekian banyak subetnik, dan
karena itu konsep Dayak sesungguhnya hanyalah semacam sebutan umum untuk
penduduk asli Kalimantan) Meskipun begitu, hubungan antara etnis yang satu
dengan etnis yang lain telah berlangsung cukup lama seiring dengan terjadinya
mobilitas penduduk antarpulau, kendati pun masih terbatas antarpulau tertentu
yang letak wilayahnya strategis untuk urusan perniagaan.
Ketika kepulauan nusantara
menjadi suatu bagian yang integral dalam perdagangan Asia,keterlibatan dalam
perdagangan rempah-rempah meningkatkan mobilitas antar pulau di kalangan
penduduk nusantara. Dalam perkembangannya, seiring dengan meningkatnya hubungan
dagang serta berbagai kontak antaretnik lainnya, muncul pula
perkampungan-perkampungan etnis tertentu di sebuah pulau untuk kemudian hidup
mengelompok dan membaur. Masing masing etnis tersebut memiliki karakterisktik
kebudayaan yang spesifik dari daerah asalnya yang umumnya masih dipegang dengan
kuat. Dalam kehidupan sosial, tentu saja terjadi interaksi atau saling hubungan
antaretnik, sehingga dapat saling mempengaruhi antara satu etnik dengan etnik
lainnya.Di Kalimantan Tengah (Kalteng),misalnya, selain etnis Dayak (dengan
berbagai sub etnis dan atau percabangan suku bangsa di dalamnya) yang merupakan
penduduk asli, terdapat pula berbagai etnis lain dari luar Kalimantan seperti
etnis Jawa, Madura, Bugis,Melayu, Sumatera, Bali, dan sebagainya. Dalam sejarah
masyarakat dan masalah etnisitas di Kalteng,sebenarnya hubungan antaretnis
berlangsung dengan baik. Etnik yang satu dengan etnik lain terjadi pembauran
yang wajar dan saling menghargai. Bahkan perkawinan antaretnik pun sudah biasa
dijumpai dalam kehidupan masyarakat diKalteng. Akan tetapi, khusus hubungan
antara etnik Dayak dengan Madura ada kecenderungan memperlihatkan sesuatu yang
lain yang berbeda dibandingkan dengan hubungan antara etnik Dayak dengan
etnik-etnik lainnya. Dengan kata lain, antara kedua etnik
(Dayak-Madura)menyimpan stereotip etnik budaya yang justru cenderung saling
merenggangkan hubungan sosial antara keduanya.
Sebagai unit sosial dari sebuah masyarakat majemuk,
kelompok etnik tidak jarang muncul sebagai sebuah masalah tersendiri..Dalam
kenyataan, hubungan antar etnik tidak selalu berjalan mulus dan tidak selalu
terjadi kerjasama yang baik. Ada kalanya mereka berbenturan (konflik) karena
berbagai sebab, baik bersifat sepele maupun yang serius. Menurut Soemardjan
(2001), di mana ada dua atau beberapa suku hidup sebagai tetangga dekat maka
karena kebudayaannya yang berbeda selama hubungan antara mereka itu tidak dapat
dihindarkan tumbuh nya bibit-bibit konflik sosial atau konflik budaya.
Konflik sosial,terutama konflik etnik, pada umumnya
dapat terjadi kalau salah satu pihak merasakan sesuatu yang tidak adil baginya.
Suku tetangga mungkin menduduki posisi yang dominan (unggul) terhadap suku“lawannya”.
Hal ini dapat terjadi dibidang ekonomi,sosial,politik,pemerintahan,pendidikan,
dan sebagainya Fenomena yang disebutkan terakhir itulah yang terjadi di beberapa
daerah di Kalimantan. Di pedalaman Kalimantan Barat (Kalbar),misalnya, seperti
ditunjukkan penelitian Alqadrie (1990), di mana ada dua bentuk kesadaran etnik pada
masyarakat tersebut yakni“konflik” dan “penolakan terhadap beberapa kegiatan
ekonomi”, dan mesianisme”. Konflik antara kelompok etnik Dayak dan Madura sudah
terjadi berulang kali yakni pada tahun 1968, 1969, dan 1986.Kemudian meledak
kembali pada 1999 dengan menelan korban yang cukup banyak, di samping banyak pula
yang harus menjadi pengungsi. Di Kalteng, meledak pula konflik antara etnik
Dayak dan etnik Madura pada awal 2001.
Konflik
tersebut, menurut Soemardjan, sebenarnya merupakan ulangan dari konflik antara
kedua etnik itu yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di Kalbar. Bahkan 8 atau
9 kali berturut-turut dalam waktu dari lima tahun. Kalau konflik itu dapat
berkali-kali terjadi di Kalbar dan kemudian disusul di Kalteng maka ada dua hal
yang perlu diperhatikan: (1) penyelesaian konflik di Kalbar dulu tidak tuntas,artinya
tidak dilakukan secara mendalam sampai pada akar-akarnya;(2) konflik seperti
yang terulang di Kalteng itu dapat terjadi lagi,mungkin di daerah lain.
Dalam pandangan Soemardjan, bibit konflik antara suku Dayak
dengan Madura di Kalteng berada dalam hubungan antar kedua etnik. Di Kalbar dan
Kalteng kedua suku itu hidup berdampingan di suatu tempat atau lokasi dan mereka
bisa melakukan interaksi. Dalam hubungan antara suku Dayak dengan suku-suku
pendatang selain suku Madura tidak ada masalah sosial atau ekonomi. Tetapi masalah
yang bertentangan itu ada dalam hubungan antara suku Dayak dengan suku Madura.
Suku Dayak, memiliki ciri-ciri kebudayaan primordial. Dalam tata hidupnya suku
itu berorientasi pada dirinya sendiri (inwardoriented). Mereka percaya
bahwa di dalam lingkungannya yang banyak hutan dan rawa yang menyulitkan hubungan
dengan dunia di luarnya ada dua macam masyarakat, yaitu masyarakat manusia
hidup dan masyarakat roh-roh manusia yang sudah meninggal. Kedua masyarakat itu
saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan itu dilakukan menurut
adat yang kuat dan hidup, lagi pula menggalang kesetiaan pada masyarakat hidup
dan masyarakat roh yang tidak boleh diganggu. Dalam rangka kebudayaan,
kepercayaan, dan adat itu suku Dayak mempunyai sikap ramah-tamah, penuh
toleransi, dan tenggang rasa dalam hubungannya sesama manusia. Tetapi kalau pihak
lain yang melanggar adat, dan dengan sendirinya merusak hubungan dengan
masyarakat roh-roh leluhur mereka, maka mereka tidak segan-segan untuk
mengeluarkan mandaunya dan memotong kepala lawannya sebagai bukti kepada roh -roh
bahwa mereka membela kehormatan roh-roh itu.
Hal serupa juga diungkapkan dalam penelitian Ruslikan
(1999), di mana masyarakat Dayak sangat menghargai tradisi nenek moyang serta
roh-roh leluhur. Sebaliknya, ciri-ciri suku Madura memiliki orientasi
kebudayaan keluar (out-ward oriented). Karena daerah asalnya, pulau
Madura, kering dan gersang maka kebudayaannya mengajarkan ketekunan dan
keberanian untuk bertahan hidup.Masyarakat Madura menganggap bahwa lahan hidup
mereka itu tidak terbatas pada pulau Madura saja,akan tetapi daerah-daerah di
seberang lautan pun mereka anggap pantas dijadikan sumber penghidupan.Mereka
yang merantau sebagian karena terpaksa sebab sumber penghidupannya yang
benar-benar sempit, sedang sebagian lainnya adalah yang berwatak dinamis,
mandiri, serta berani meluaskan lingkungan hidupnya sampai di seberang lautan.
Orang-orang Madura yang berwatak demikian itulah yang berlayar sampai ke Kalbar
serta Kalteng dan membentuk masyarakat pendatang Pada dasarnya terdapat
persamaan antara konflik etnik diKalteng pada 2001 dengan yang terjadi di
Kalbar pada 1999 dan sebelumnya, baik dalam stereotip etnik maupun pola
penyerangan. Orang Dayak melihat orang Madura sebagai hewan hama dan buruan
mereka yang rakus yaitu babi hutan, dan sebaliknya Orang Madura melihat Orang
Dayak sebagai kafir dan mahluk terbelakang. Konflik antarindividu yang menghasilkan
kerusuhan antar suku bangsa dan yang mewujud sebagai kekerasan dapat dipahami dengan
mengacu pada stereotip suku bangsa yang mereka punyai masing-masing dan yang
mereka gunakan. Yaitu, kekerasan telah terwujud karena pihak lawan tidak lagi dilihat
sebagai kategori manusia atau orang-perorang tetapi sebagai kategori hewan atau
benda yang sudah sewajarnya untuk dihancurkan.. Perlawanan yang dilakukan oleh
orang-perorang berubah menjadi perlawanan oleh kelompok, dan berkembang menjadi
perlawanan massal yang berupa amuk massal. Karena perlawanan yang dilakukan oleh
perorangan tersebut merupakan keinginan yang mendalam dalam hati mereka yang
juga merasakan penderitaan karena kesewenang-wenangan tersebut. Perlawanan yang
kemudian berubah menjadi amuk massa tersebut dapat dilihat sebagai puncak dari
keberanian untuk menghancurkan ketakutan dan teror yang mereka derita secara massal
yang sudah tidak tertahankan.
Hubungan antara suku lokal Dayak dan suku pendatang
Madura di Kalbar dan Kalteng tampaknya prasangka negatif dari suku Dayak
terhadap suku Madura lebih mendalam daripada prasangka yang positif.Unsur
budaya suku Madura di bidang ekonomi lebih kuat daripada dalam kebadayaan suku
Dayak membawa suku Madura pada tingkat dominan diatas suku Dayak. Suku Dayak
merasa tidak senang di daerah asalnya sendiri didominasi oleh suku lain yang
datang dari daerah lain. Sementara pada pihak suku Madura berpendapat bahwa
masyarakatnya memberi sumbangan besar pada perkembangan ekonomi umum, baik di
Kalbar maupun di Kalteng. Tanpa kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua
daerah itu tidak akan menjadi setinggi seperti sekarangWarga etnik Madura yang
minoritas di tengah-tengah suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai pekerja
keras sekaligus memiliki tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan
terus berusaha menggalang kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat
pula. Akan tetapi hal itu kurang diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi
dengan suku Dayak, sehingga di mata orang-orang Dayak orang-orang Madura lebih
dilihat sebagai orang asing. Dalam konteks demikian, suku Dayak bermusuhan
dengan suku pendatang Madura saja dan tidak suku pendatang lainnya, karena suku
-suku lain seperti Jawa, Bugis,Minangkabau, Batak, dan lain sebagainya pandai
berakulturasi dengan suku Dayak, sehingga mereka dapat bekerjasama atau setidak-tidaknya
berkoeksistensi dengan suku mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda dengan akibat
konflik. Di antara kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik budaya.
Semula bersifat laten (tertutup), tetapi lamalama cukup kuat untuk
meledak menjadi konflik manifest (terbuka) yang diwujudkan dengan
interaksi yang berisikan permusuhan disertai kekerasan yang tak terkendalikan.
Komuniti Orang Madura hidup bertetangga dengan warga desa Melayu atau Dayak setempat. Di
daerah perkotaan, dikota Singkawang, misalnya, mereka juga hidup mengelompok
dalam lingkungan ketetanggaan yang kesemuanya orang-orang Madura. Pusat sebuah
komuniti Orang Madura adalah tempat ibadah mereka. Pada waktu jumlah mereka itu
sedikit maka pusat komunitinya adalah langgar atau mushalla. Bila jumlah anggota
komunitinya bertambah maka pusat komuniti tersebut adalah masjid, dan biasanya
dibarengi dengan pesantren. Langgar atau masjid dan pesantren adalah eksklusif
Madura. Karena, bahasa yang digunakan adalah bahasa Madura. Kiai dan komuniti
Madura setempat adalah tokoh panutan dunia dan akhirat bagi masing-masing warga
masyarakat setempat. Di samping itu, ada kecenderungan orang-orang Dayak merasa
bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai
manusia dan sebagai penduduk setempat, dan juga memandang sebelah mata
adat-istiadat yang mereka junjung tinggi sebagai pedoman etika dan moral dalam
kehidupan mereka. Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara
berlebihan (tanah -tanah pertanian dan kebun, rumah,monopoli kegiatan-kegiatan
ekonomi, jasa, dan bisnis, monopoli eksploitasi atas sumber-sumber daya alam
yang ada) dengan cara –cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa
teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah
merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat maupun secara umum adalah
salah dan secara hukum juga melanggar ketentuan hukum. Jarak keyakinan, corak
kebudayaan,dan karakteristik masing-masing yang sangat jauh itu ditambah dengan
stereotipe dan atau label negatif dari masingmasing etnik terhadap yang lain
menjadi penopang semangat dan keberanian yang luar biasa kedua belah pihak
ketika terjadi peristiwa-peristiwa tertentu yang dinilai mengusik
sentimentalisme etnisitasmereka.
Kenyataan
itulah yang sesungguhnya menjadi akar masalah dalam kerusuhan demi keru -suhan
dan konflik demi konflik antara etnik Dayak dengan etnis Madura baik di Kalteng
maupun Kalbar. Agaknya karena begitu kuatnya citra negatif terhadap etnik
Madura oleh etnik Dayak, telah membangkitkan rasa nasionalisme etnisitas
masyarakat untuk mengusir orang-orang etnik Madura dari bumi Kalimantan Tengah.
Pasca tragedi Sampit, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya, lewat LMMDD –KT (Lembaga
Musyawarah Masyarakat Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah),
masyarakat etnik Dayak hampir tak memberikan sedikit pun peluang bagi
orangorang etnik Madura untuk kembali ke Kalteng. Kalau pun diperkenankan
kembali, maka syarat-syarat yang ditentukan sangatlah berat.Dalam konteks
stereotip etnis dan berbagai kekecewaan lainnya (misalnya di bidang ekonomi)
dari orang-orang Dayak terhadap orangorang Madura, maka hanya dengan latar
pemicu yang sepele saja meledaklah kerusuhan dalam wajah konflik etnik
Dayak-Madura di Sampit, Palangkaraya, dan Pangkalan Bun, Kalteng pada awal 2001
itu, yang membawa ribuan korban nyawa dan terbanyak di pihak etnik Madura.
Orang-orang Madura yang masih hidup baik yang tinggal di kota maupun yang
tersebar di banyak desa di bumi Borneo itu terpaksa memilih lari keluar
beramai-ramai karena jiwanya terancam,dan mereka itulah saat ini yang menjadi
pengungsi di Pulau Madura.
Solusi dalam menangani konflik etnik, khsusnya antara
etnik Dayak-Madura di Kalteng. Pertama, penyelesaiannya diserahkan untuk
ditangani oleh lembaga independen yang beranggotakan tokoh-tokoh dari kedua
etnik serta kalangan intelektual dan tokoh-tokoh kredibel dari
pemerintahan,yang difasilitasi sepenuhnya oleh negara. Lembaga ini diberi
kewenangan untuk menemukan kesepakatan-kesepakatan dari pihak pihak yang
bertikai dan kemudian mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang
memungkinkan menata mereka kembali keharmonisan keharmonisan sosial dalam
ketenangan dan rasa aman yang terjamin. Kedua,siapa pun yang di indikasikan
kuat sebagai aktor-aktor intelektual di balik kerusuhan di Kalteng, baik dari
kalangan etnis Dayak maupun Madura, harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan.
Supremasi hukum harus ditegakkan atas mereka. Ketiga,negara mesti
membantu warga etnis Madura untuk mendapatkan kembali hak milik mereka berupa
aset ekonomi terutama yang berupa tanah serta rumah tempat tinggal. Juga
memberikan kompensasi terhadap etnik Dayak untuk menjadi tuan di tanah nenek
moyangnya sendiri. Mereka harus diberdayakan dari berbagai aspek kehidupan. Keempat,negara
bekerjasama sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) melakukan sosialisasi
dan kampanye terus-menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia
sebagai bangsa majemuk berikut pentingnya hidup berdampingan secara damai
sertakeutamaan menyelesaikan konflik kekerasan di dalam masyarakat. Dan, yang
tak kalah pentingnya adalah berupaya menghapus kesan negatif atau steoretip
antara etnis Dayak dan Madura yang ada selama ini. Hal itu semua dimaksudkan
sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi dalam hubungan antar etnis, yang
diharapkan di mana semua pihak dapat belajar dari pengalaman sekaligus mampu
merakit hubungan sosial secara damai kendati dalam seribu satu macam perbedaan[14]
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Multikulturalisme adalah kebudayaan.
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(budaya), dan isme (aliran/paham). multikultural merupakan bentuk dari
masyarakat moderen yang anggotanya terdiri atas berbagai golongan , suku, etnis
( suku bangsa) , ras, agama, dan budaya.
Dakwah dimasyarakat akan
memiliki posisi ganda, pada satu sisi dakwah merupakan bagian dari system
sosial yang berproses sesuai dengan pranata-pranata khusus yang berlaku di
masyarakat setempat. Sehingga tipe masyarakat akan menentukan karakteristik
dakwahnya. Pada sisi lain dakwah berposisi sebagai agen perubahan di
masyarakat. Dakwah memiliki maksud untuk mengubah tatanan sosial masyarakat
yang tidak sesuai dengan ajaran agama islam,menuju suatu tatanan sosial yang
diciptakan oleh agama islam.
Dakwah
berwawasan multikultural, merupakan kebijakan dakwah yang mampu mengayomi
setiap kelompok dan mengapresiasi perbedaan kultur di masyarakat. Setiap
kebijakan dakwah diharapkan mampu mendorong lahirnya sikap apresiatif,
toleransi, prinsip kesetaraan antar budaya, kesetaraan gender, kesetaraan antar
pelbagai kelompok etnik, kesetaraan bahasa, agama, dan sebagainya.
Keanekaragaman dalam masyarakat ternyata
memunculkan berbagai persoalan bagi bangsa Indonesia. Konflik-konflik yang
terjadi di Indonesia umumnya muncul sebagai akibat keanekaragaman etnis, agama,
ras, dan adat, seperti konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan. Konflik yang terjadi antara Dayak dan Madura yaitu
konflik antaretnis. akar masalah dalam kerusuhan demi keru -suhan dan konflik
demi konflik antara etnik Dayak dengan etnis Madura baik di Kalteng maupun
Kalbar, Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga
masyarakat setempat maupun secara umum adalah salah dan secara hukum juga
melanggar ketentuan hukum. Jarak keyakinan, corak kebudayaan,dan karakteristik
masing-masing yang sangat jauh itu ditambah dengan stereotipe dan atau label
negatif dari masingmasing etnik terhadap yang lain menjadi penopang semangat
dan keberanian yang luar biasa. Ada empat solusi dalam menangani masalah
tersebut.
- Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat
dan kami sampaikan. Mudah- mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila
ada kesalahan dalam penulisan, ataupun referensi yang kurang benar dalam
pembahasan, kami mohon maaf yang sebesar- besarnya. Dan kami menerima saran dan
kritikkan dari pembaca demi kebaikan kami untuk selanjutnya. Tiada kesempurnaan
bagi kita, kecuali kesempurnaan itu hanya milik Allah semata.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail,
A. Ilyas dan Prio Hotman,2011, Filsafat
Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, Kencana: Jakarta.
Faqih,
Ahmad,2015, Sosiologi Dakwah: Teori dan
Praktik, Semarang: Karya Abadi Jaya.
Kurniawan,
Agus, DKK,2014, Sosiologi,Solo: Haka
MJ.
Maryati,Kun
dan Juju Suryawati, 2001, Sosiologi,
Jakarta: Esis.
Wardi
Bachtiar, 1997,metodologi penelitian ilmu dakwah,Jakarta: logoswacana ilmu.
[2] Kun Maryati dan Juju
Suryawati, Sosiologi ( Jakarta: Esis,
2001) hlm157
[3] Ibid. Hlm 159
[7] Kun Maryati dan Juju
Suryawati, Sosiologi ( Jakarta, Esis,
2001) hlm 157
[8] Agus Kurniawan Dkk, Sosiologi ,( Solo: Haka MJ, 2014) hlm 41
[9] Ahmad Faqih, Sosiologi Dakwah: Teori dan Praktik
(Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015) hlm 108-110
[10] A. Ilyas Ismail, dan
Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa
Membangun Agama dan Peradaban Islam. (Jakarta: Kencana 2011),hlm 262-263
[11] Ibid. Hlm 264-267
[12] Ibid. Hlm 274-278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar