ALIRAN MU’TAZILAH
MAKALAH
Disususn Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tauhid
Disusun Oleh :
A.Ali As’adi (1501046003)
Dwi Aprillia Hapsari (1501046011)
Ainurrika Nadhifa (1501046033)
PENGEMBANGAN
MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
permasalahan teologi dalam Islam, banyak bermunculan kelompok-kelompok yang
memperkuat argumentasi dalam baragama dengan menggunakan rasio, walaupun mereka
tetap menggunakan nash yaitu Al Qur’an dan Hadist. Akan tetapi, dengan
menggunakan rasio yang mereka agungkan ini, maka muncul pemikir-pemikir Islam
yang memperkuat sebuah alasan dalam mempertahankan keyakinannya.
Mu’tazilah
adalah salah satu kelompok yang membawa persoalan-persoalan teologi lebih
mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa oleh
kaum Khawarij dan Murji’ah. Walaupun pada mulanya kelompok ini hanya sebatas
gerakan beberapa orang sahabat saja yang tidak puas dengan sikap pemerintahan
sayidina Ali bin Abi Thalib.
Penyebutan
kelompok ini dengan sebutan kelompok Mu’tazilah terjadi setelah adanya
perbedaan pendapat antara Wasil ibn ‘Atha dengan gurunya Hasan al Basri tentang
penilaian orang yang berbuat dosa. Dengan munculnya pemikiran seperti inilah
maka Mu’tazilah lahir sebagaimana kelompok baru dalam dunia pemikiran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah lahir dan perkembangan
aliran Mu’tazilah ?
2. Siapakah tokoh-tokoh pemikiran aliran
Mu’tazilah ?
3. Bagaimana pemikiran theologis aliran
Mu’tazilah?
4. Bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan
pemikiran di dunia islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Lahir dan Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Secara harfiah
kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan
diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
Disebut
Mu’tazilah karena Wasil bin ‘Atha dan ‘Amr in ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala)
dari pengajian Hasan al Basri di masjid Basrah, kemudian membentuk pengajian
sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang yang mengerjakan dosa besar
tidak mu’min lengkap, juga tidak kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu
tempat diantara dua tempat (tingkatan) tersebut. Karena penjauhan ini, maka
disebut “orang Mu’tazilah” (orang yang menjauhkan diri – memisahkan diri).
Menurut riwayat
lain, disebut Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat
yang ada tentang orang yang mengerjakan dosa besar. Golongan Murjiah mengatakan
bahwa pembuat dosa besar masih termasuk orang mu’min. Menurut Khawarij
Azariqah, ia menjadi kafir. Sedang menurut Hasan Basri ia menjadi orang
munafik. Datanglah Wasil bin ‘Atha untuk mengatakan bahwa pembuat dosa besar
bukan mu’min, bukan pula menjadi kafir, melainkan menjadi fisik. Menurut
riwayat ini, sebab penyebutan adalah ma’nawiah, yaitu menyalahi pendapat orang
lain, sedang menurut riwayat pertama, sebab penyebutan adalah lahiriah, yaitu
pemisahan phisik (menjauhkan diri dari tempat duduk orang lain).
Disebut
Mu’tazilah karena pendapat mereka yang mengatakan pembuat dosa besar berarti
menjauhkan diri dari golongan orang-orang mu’min dan juga golongan orang-orang
kafir. Perbedaan riwayat ini dengan riwayat sebelumnya (kedua) ialah kalau
menurut riwayat kedua ke-Mu’tazilahan menjadi nama (sifat) golongan itu sendiri
karena mereka menyetuskan pendapat baru yang menyalahi orang-orang sebelumnya,
sedang menurut riwayat yang ketiga, ke-Mu’tazilahan mula-mula menjadi sifat si
pembuat dosa itu sendiri, kemudian menjadi nama (sifat) golongan yang
berpendapat demikian (yaitu pembuat dosa besar menyendiri dari orang-orang
mu’min dan orang-orang kafir).
Dari ketiga riwayat tersebut dapat ditarik
kesimpulan, yaitu:
a. Peristiwa timbulnya aliran Mu’tazilah ialah
sekitar Hasan al Basri dan kedua muridnya, yaitu Wasil bin ‘Atha dan Amr bin
Ubaid (Hasan Basri hidup 642-728 M).
b.
Aliran Mu’tazilah timbul karena persoalan agama semata-mata.
Mu’tazilah
muncul di kota Basrah pada abad 2 Hijriyah, yaitu antara tahun 105-110 H,
tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah
Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah penduduk Basrah mantan murid Hasan al
Basri yang bernama Wasil bin ‘Atha , kemunculan ini adalah karena Wasil
bin’Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mu’min dan bukan kafir
melainkan fasik. Imam Hasan al Basri berpendapat mu’min berdosa besar masih
berstatus mu’min. Inilah awal kemunculan paham dikarenakan perselisihan
tersebut antara murid dan guru, dan akhirnya golongan Mu’tazilah dinisbahkan
kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang. Secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.[2]
Golongan pertama (Mu’tazilah I) muncul sebagai
respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,
khususnya bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Tholib
dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai
respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda
pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir
kepada orang yang berbuat dosa besar.[3]
Beberapa versi tentang pemberian nama
Mu’tazilah kepada mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm al-Kalam
berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin ‘Atha serta temannya ‘Amr
bin Ubaid dan Hasan al Basri di Basrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang
diberikan Hasan al Basri di masjid Basrah, datanglah seseorang bertanya
mengenai pendapat Hasan al Basri tentang orang yang berbuat dosa besar. Ketika
Hasan al Basri masih berfikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan
mengatakan : “Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mu’min
dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mu’min
dan tidak kafir.”
Menurut al Baghdadi, Wasil dan temannya ‘Amr
bin Ubaid diusir oleh Hasan al Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian
antara mereka mengenai persoalan qadar dan persoalan orang yang berbuat dosa
besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al Basri dan mereka serta
pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
faham umat Islam tentang orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka orang
serupa ini tidak mu’min dan tidak pula kafir.
Versi lain dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah,
menyebut menyebut bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid
Basrah dan menuju ke majlis ‘Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan
al Basri. Setelah mengetahui itu bukan majlis Hasan al Basri ia berdiri dan
meninggalkan tempat itu, sambil berkata : “Ini kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu,
kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Al Mas’udi memberikan keterangan tentang
asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut pautkan dengan peristiwa Wasil
dan Hasan al Basri. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat
bahwa orang berdosa besar bukan mu’min dan bukan pula kafir, tetapi mengambil
posisi diantara kafir dan mu’min (al manzilah bain al manzilatain).
Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang
yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mu’min dan
kafir.
Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin
menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil
dan Hasan al Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua
posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada yang tidak mau berintervensi dalam
pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan mengikuti pertikaian itu
dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (i’tazalat ila Kharbita).
Dalam suratnya kepada khalifah, Qais menamai mereka “mu’tazilin”. Kalau
al Tabari menyebut nama ”mu’tazilin”, Abu al Fida, memakai kata “al
Mu’tazilah” sendiri.
2.
Tokoh-tokoh Pemikiran Aliran Mu’tazilah
a) Wasil bin ‘Atha (80-131 H/ 699-748)
Lengkapnya Wasil bin ‘Atha al Ghazzal. Ia
terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula
yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip ajaran Mu’tazilah.[4]
a. Al-‘Allaf (135-226 H/752-840)
Namanya Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al
‘Allaf. Ia berguru pada Usman at Tawil, murid Wasil. Puncak kebesarannya
dicapai pada masa al Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam
perdebatan mengenai soal agama dan aliran-aliran pada masanya. Hidupnya penuh
dengan perdebatan dengan orang zindiq (orang yang pura-pura Islam), skeptiq,
majusi, zoroaster dan menurut riwayat ada 3000 orang yang masuk islam di
tangannya. Ia banyak berhubungan dengan filosof-filosof dan buku-buku filsafat.
Boleh jadi pertaliannya dengan filsafat itulah yang menyebabkan dia sanggup
mengatur dan menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah dan membuka pembahasan baru yang
belum pernah dimasuki orang sebelumnya.[5]
b. An-Nazzham (wafat 231 H/845 M)
Namanya Ibrahim bin Sayyar bin Hani
an-Nazzham, tokoh Mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, banyak mendalami
filsafat dan banyak pula karyanya. Ketika kecil ia banyak bergaul dengan
orang-orang bukan Islam, dan sesudah dewasa ia banyak berhubungan dengan
filosof-filosof yang hidup pada masanya, serta banyak mengambil
pendapat-pendapat mereka.
Ia mula-mula berguru pada Abul Huzail
al-‘Allaf, kemudian mengadakan aliran sendiri, terkenal dengan namanya, dan
pada usia 36 tahun ia meninggal dunia. Banyak pendapatnya yang berbeda dengan
orang-orang Mu’tazilah lainnya, dimana sebagiannya akan disebutkan pada waktu
membicarakan filsafat aliran Mu’tazilah.[6]
c. Al-Jubbai (wafat 303 H/915 M)
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Ali
al-Jubbai, tokoh Mu’tazilah Basrah dan murid as-Syahham (wafat 267 H/885 M),
tokoh Mu’tazilah juga. Al-Jubbai dan anaknya, yaitu Abu Hasyim al-Jubbai,
mencerminkan akhir masa kejayaan aliran Mu’tazilah.
Al-Jubbai adalah guru imam al-Asy’ari, tokoh
utama aliran Ahlussunnah. Ia membantah buku karangan Ibnu ar Rawandi, yang
menyerang aliran Mu’tazilah dan juga membalas serangan imam al-Asy’ari ketika
yang terakhir ini keluar dari barisan Mu’tazilah. Akan tetapi pikiran-pikiran
dan tafsiran-tafsirannya terhadap Quran tidak sampai kepada kita. Menurut
dugaan, pikiran itu banyak diambil oleh az-Zamakhsyari.
Antara al-Jubbai dan anaknya, Abu Hasyim,
sering dikelirukan orang, karena anaknya tersebut juga menjadi tokoh
Mu’tazilah, dan alirannya terkenal dengan nama “Bahsyamiah”. Aliran ini banyak
tersebardi Rai dan sekitarnya (Iran), karena mendapat dukungan dari Sahib
bin’Abad, menteri kerajaan Bani Buwaihi.[7]
d. Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Bagdad.
Pandangan-pandangannya tentang kasusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip
oleh al-Jahiz dalam bukunya al Bayan wat-Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia
adalah orang yang pertama-tama mengadakan ilmu Balaghah.
Beberapa pendapatnya tentang paham
ke-Mu’tazilahan hanya sedikit saja yang sampai kepada kita. Ia adalah orang
yang pertama mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi
dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungjawaban manusia atas
perbuatannya.
Di antara murid-muridnya yang besar
pengaruhnya dalam penyebaran paham-paham ke-Mu’tazilahan di Bagdad ialah Abu
Musa al Mudar, Tsumamah bin al-Asyras dan Ahmad bin Abi Fu’ad.
e. Al Chayyat (wafat 300 H/912 M)
Ia adalah Abu al-Husein al Khayyat, termasuk
tokoh Mu’tazilah Bagdad, dan pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk
membela aliran Mu’tazilah dari serangan Ibnu ar Rawandi. Ia hidup pada masa
kemunduran aliran Mu’tazilah[8]
f. Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M. Di Ray)
Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran
Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al qudhat) oleh Ibnu ‘Abad.
Di antara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran
Mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as Syarif al
Murtadha. Nuku tersebut sedang dalam penerbitan di Kairo dengan nama
“al-Mughni”.
g. Az-Zamaihsyari (467-538 H/1075-1144 M)
Namanya Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar
kelahiran Zamachsyar. Pada diri az Zamachsyari terkumpul karya aliran
Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir,
nahwu dan paramasastera.
Ia dengan terang-terangan menonjolkan paham
ke-Mu’tazilahannya dan dituliskan dalam bukunya, serta dikemukakannya dalam
pertemuan-pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya “al Kassyaf” ia telah berusaha
sekuatnya untuk menafsirkan ayat-ayat Quran berdasarkan ajaran-ajaran
Mu’tazilah.
Begitulah cara az-Zamachsyari, menerapkan Quran
dan menundukkan ajaran-ajaran Mu’tazilah kepadanya, bukan menerapkan
ajaran-ajaran ini kepada Quran dan menundukkan Quran kepadanya.
Di samping segi ke-Mu’tazilahannya, al Kassyaf
menunjukkan kekuatan pengarangnya dalam segi bahasa, balaghah, ilmu stylistika
dan kemu’jizatan Quran, sehingga golongan mufassirin banyak menggunakan dan
tidak bisa melepaskannya sampai sekarang.
Namun bagaimanapun juga, di kalangan aliran
Mu’tazilah, az-Zamachsyari merupakan tokoh yang sukar dicari tandingannya.
3.Pemikiran teologi mu’tazilah
Aliran mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama yaitu keesaan ( at-tauhid),
keadilan(al’adlu), janji dan ancaman ( al-wa’du wal wa’idu), tempat diantara
dua tempat (al- munzilatu bainul manzilataini ) dan menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan ( amar ma’ruf, nahi mungkar)
1) At- Tauhid ( keesaan)
Tauhid, sebagai
aqidah pokok dan yang pertama dalam islam tidak diciptakan oleh aliran Mu’tazilah.
Setiap mazhab teologis dalam islam selalu memegang aqidah pokok ini. Akan
tetapi, bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan dalam faham
mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang
unik,tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu mereka menolak faham anthropomorphisme.Anthropomorphisme
sebagai diketahui menggambarkan Tuhan dekat menyerupai mahluk-Nya. Mereka juga menolak
beatific vision, yaitu bahwa tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya.
Satu-satunya sifat Tuhan yang tidak mungkin ada pada makluk-Nya ialah sifat
qodim(tidak mempunyai permulaan) . hanya zat Tuhan yang boleh qodim. Faham ini,
sebagai dilihat sebelumnya, mendorong kaum mu’tazilah untuk meniadakan
sifat-sifat Tuhan yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiridiluar zat
Tuhan. Tuhan bagi mereka tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Mendengar dan
sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan dengan zat Tuhan. Sifat-sifat
itu merupakan esensi Tuhan. Kaum mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam
dua golongan yaitu sifat zatih( sifat-sifat esensi Tuhan seperti kehendak(al-
iradah), sabda( kalam), keadilan( al-adal)) dan sifat fi’liah( sifat- sifat
perbuatan tuhan seperti wujud(al-wujud), al-qodim, hidup( al-hayah), kekuasaan(
al-qudrah)). Dengan demikian yang dimaksud kaum mu’tazilah dengan peniadaan
sifat-sifat Tuhan ,ialah memandang sebagian dari sifat-sifat Tuhan . faham ini
timbul karena keinginan mereka untuk menjaga kemurnianya ke-Maha Esaan Tuhan[9].
2) Al- adlu (keadilan)
Al-adlu ada
hubunganya dengan al-tauhid, kalau at-tauhid kaum mu’tazilah ingin mensucikan
diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk,maka dengan al-adlu mereka ingin
mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya
Tuhanlah yang berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada makhluk
terdapat perbuatan zalim. Dengan kata lain kalau tauhid membahas keunikan diri
Tuhan , al-adlu membahas keunikan perbuatan Tuhan.
Tuhan dalam faham kaum Mu’tazilah, tidak berbuat
buruk karena perbuatan yang demikian timbul hanya dari orang yang bersifat
tidak sempurna. Dan Tuhan bersifat Maha Sempurna. Keadilan Tuhan menimbulkan
persoalan tentang perbuatan manusia.
3) Al-wa’d wa al- wa’id ( janji dan ancaman)
Tuhan tidak
akan dapat disebut adil, jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki
supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi
pahala, seperti bagaimana dijanjikan Tuhan.
4) (al- munzilatu bainul manzilataini )
Pembuat dosa
besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad.,
tetapi bukanlah mukmin, karena imanya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin
ia tidak masuk surga dan karena bukan kafir pula ia sebenarnya tak mesti masuk
neraka. Ia seharusnya ditempatkan diluar surga dan diluar neraka.inilah
sebenarnya keadilan. Penentuan tempat itu banyak hubunganya dengan faham
mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka digambarkan bukan hanya oleh
pengakuan dan ucapan lisan ,tetapi juga dengan perbuatan. Dengan demikian
pembuat dosa besar yang tidak beriman maka tidak dapat masuk surga melainkan
masuk neraka. Tetapi tidak adil jika ia dalam neraka mendapat siksaan yang sama
berat oleh orang kafir. Pembuat dosa besar masuk neraka tetapi mendapat siksaan
yang ringan, inilah menurut mu’tazilah , posisi menengah antara mukmin dan
kafir dan itupula keadilan.[10]
5) ( amar
ma’ruf, nahi mungkar) menyuruh kebaikan dan melarang keburukan
Ajaran ini
menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi
logis dari keimanan seseorang. Pengakuan iman harus dibuktikan dengan perbuatan
baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari
kejahatan. Perbedaan madzab mu’tazilah dengan madzab yang lain mengenai hal ini
terletak pada tatanan pelaksanaanya. Menurut mu’tazilah ,jika memang diperlukan
kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
4.pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran
di dunia islam
kaum mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari islam dan
dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat islam, terutama di indonesia.
Pandangan demikian timbul karena kaum mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada
wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan rasio.
Sebagai diketahui kaum mu’tazilah tidak hanya memakai argumen rasionil, tetapi
juga memakai ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi untuk mempertahankan pendirian
mereka.
Kaum
mu’tzilah tidak disukai karena sikap mereka memakai kekerasan dalam menyiarkan
ajarn-ajaran mereka dipermulaan abad. Kesalahpahaman terhadap aliran mu’tazilah
timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi didalam
perguruan- perguruan islam . yang banyak dibaca selama ini hanyalah buku-buku
teologi yang dikarang oleh pengikut-pengikut al-asy’ari dan al-muturidi dan
sebagai lawan dari mu’tazilah ,tulisan-tulisan mereka tentang ajaran mu’tazilah
tidak selamanya bersifat obyektif. Bahkan pengarang tak segan-segan men cap
kaum mu’tazilah sebagai golongan kafir.[11]
Dizaman
moderen dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknik sekarang , ajaran-ajaran
kaum mu’tazilah yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul kembali
dikalangan umat islam terutama dikalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar
mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran- ajaran
mu’tazilah. Mempunyai faham-faham yang demikian tidaklah membuat mereka keluar
dari islam.[12]
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Secara harfiah kata
Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri,
yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Peristiwa timbulnya aliran
Mu’tazilah ialah sekitar Hasan al Basri dan kedua muridnya, yaitu Wasil bin
‘Atha dan Amr bin Ubaid (Hasan Basri hidup 642-728 M)dan Aliran Mu’tazilah
timbul karena persoalan agama semata-mata.
Tokoh-tokoh Pemikiran Aliran Mu’tazilah yaitu Wasil bin ‘Atha, al- allaf,
an Nazzham, al-jubbai, bisjr bin al-mu’tamir, al-chayyat, al-qadhi abdul
jabbar, az-zamaihsyari dan sebagainya Aliran mu’tazilah berdiri atas lima
prinsip utama yaitu keesaan (
at-tauhid), keadilan(al’adlu), janji dan ancaman ( al-wa’du wal wa’idu), tempat
diantara dua tempat (al- munzilatu bainul manzilataini ) dan menyuruh kebaikan
dan melarang keburukan ( amar ma’ruf, nahi mungkar)
kaum mu’tazilah masih dipandang
sebagai aliran yang menyimpang dari islam dan dengan demikian tak
disenangi oleh sebagian umat islam, terutama di indonesia. Pandangan demikian
timbul karena kaum mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya
mengakui kebenaran yang diperoleh dengan perantaraan rasioDizaman moderen dan
kemajuan ilmu pengetahuan serta teknik sekarang , ajaran-ajaran kaum mu’tazilah
yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul kembali dikalangan umat islam
terutama dikalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai
faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran- ajaran mu’tazilah
DAFTAR PUSTAKA
nasution harun,teologi islam, UI-press ,jakarta
:1972
Hanafi, pengantar theology islam, PT al husna
zikra, jakarta :1995
Rozak Abdul, ilmu kalam, pustaka setia,B
andung:2015